DIGITAL MARKETING SANGAT DI PERLUKAN DI ERA INI,
Pada saat ini jumlah penduduk Indonesia sekitar 253,6 juta jiwa dan menempati urutan jumlah penduduk terbanyak ke empat setelah Repunlik Rayat Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2035, jumlah penduduk Indonesia di perkirakan akan mencapai lebih dari 305 juta jiwa. Apalagi di lihat dari komposisi umur penduduk usia produktif yaitu sekitar 15-64 tahun. Komposisi peduduk yang berusia produktif di banding dengan tahun 2010 yang berjumlah 66,5 % adanya jumlah penduduk menjadi 47,3% menurun angka rasio beban ketergantungan tersebut menunjukkan berkurangnya beban ekonomi bagi penduduk usia produktif yang harus mengganggu jumlah penduduk yang tidak produktif.
Pada tahun 2019 yang akn datang, jumlah penduduk dunia di proyeksikan akan mencapai umlah 7,5 milyar jiwa. Dalam kondisi demikian berati kebutuhan hidup manusia di planet bumi ini akan makin berlipat ganda di banding dengan kebutuhan saat ini. Angka rasio ketergantungan penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk usia produktif di Indonesia terus menunjukkan penurunan sampai mencapai angka terendah pada tahun 2030. Dengan demikian selama 14 tahun ke depan merupakan tahun emas bagi negara Indonesia karena pertumbuhan ekonominya berkebang dengan baik. Sementara itu negara negara maju seperti Amerika Seriat, Jepang, data penduduknya terdiri atas jumlah penduduk yang berusia tua sehinga rasio beban ketergantungannya menjadi tinggi.
Pada tahun 2030, dalam prediksi McKinsey Global Institute (2012), Negara Indonesia akan menjadi negara ekonomi nomor tujuh terbesar di dunia dan McKinsey Global Institute menjelaskan berbagai potensi maupun peluang yang tersedia bagi bangsa dan negara indonesia maupun tantangan dan problematika yang di hadapi. Semetara itu pada tahun 2016 ini ekonomi negar Indonesia berada pada urutan ke-16 besar dunia Dalam kenyataannya adanya perlabatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada saat ini hanya berkisaran 5 ,01% dan mengakibatkan prediksi McKinsey Global Institute tersebut menjadi berkurang validitasnya.
Apabila kita cermati dari data di atas dan memahaminya bahwa kesempatan meningkatkan perekonomian di negara kita memiliki potensi yang sangat tinggi dengan melihat data penduduk dan kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi .
Salah satu bentuk dari memenuhi beberapa kebutuhan manusia adalah perdagangan dengan cara jual beli. Metode pejualan saat ini yang masih berlangsung adalah metode penjualan secara tradisional, yaitu pasar konvensional. Pasar konvensional di Indonesia sekarang telah berlangsung secara mereta,tetapi sistem tersebut sangat tidak cocok dengan keadaan yang ada di negara kita, karena negara kita adalah negara kepulauan yang wilayah daratannya lebih kecil di banding dengan wilayah lautan. Tentu keadaan tersebut menjadi salah satu permasalahan tidak meratanya produk antara daerah satu dengan daerah lainnya serta dengan harga yang bereda pula.
B. Pasar Konvensional
Secara sederhana, definisi pasar selalu dibatasi oleh anggapan yang menyatakan antara pembeli dan pejual harus bertemu secara langsung untuk mengadakan interaksi jual beli. Namun, pengertian tersebut tidaklah sepenuhnya benar karena seiring kemajuan teknologi, internet, atau malah hanya dengan surat. Pembeli dan penjual tidak bertemu secara langsung, mereka dapat saja berada di tempat yang berbeda atau berjauhan. Artinya, dalam proses pembentukan pasar, hanya dibutuhkan adanya penjual, pembeli, dan barang yang diperjualbelikan serta adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli. Contoh pasar yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar menawar yang terjadi. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari hari seperti bahan bahan makanan berupa ikan, buah, sayur sayuran, telur, daging, kain, pakaian, barang elektronik, jasa dan lain lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue kue dan barang barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan dan perkampungan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Sisi negatif dari pasar tradisional adalah keadaannya yang cenderung kotor dan kumuh sehingga banyak orang yang segan berbelanja disana. Beberapa pasar tradisional yang “legendaris” antara lain adalah pasar Beringharjo di Jogja, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi “serangan” dari pasar modern.
C. Pasar Digital
Pertumbuhan pesat pangsa pasar e-commerce di Indonesia memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Dengan jumlah pengguna internet yang mencapai angka 82 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk di Indonesia, pasar e-commerce menjadi tambang emas yang sangat menggoda bagi sebagian orang yang bisa melihat potensi ke depannya. Pertumbuhan ini didukung dengan data dari Menkominfo yang menyebutkan bahwa nilai transaksi e-commerce pada tahun 2013 mencapai angka Rp130 triliun.
Ini merupakan angka yang sangat fantastis mengingat bahwa hanya sekitar 7% dari pengguna internet di Indonesia yang pernah belanja secara online, ini berdasarkan data dari McKinsey. Dibandingkan dengan China yang sudah mencapai 30%, Indonesia memang masih tertinggal jauh, tapi perlu anda ingat bahwa jumlah ini akan terus naik seiring dengan bertumbuhnya penggunaan smartphone, penetrasi internet di Indonesia, penggunaan kartu debit dan kredit, dan tingkat kepercayaan konsumen untuk berbelanja secara online. Jika kita melihat Indonesia sebagai Negara kepulauan yang sangat luas, e-commerce adalah pasar yang berpotensi tumbuh sangat besar di Indonesia.
Tahukah anda bahwa ternyata sudah semakin banyak kota-kota kecil di Indonesia yang mulai berbelanja secara online? Pada tahun 2012, suatu perusahaan e-commerce di Indonesia mencatat bahwa 41% penjualan mereka berasal dari Jakarta, tapi enam bulan selanjutnya angka ini turun menjadi 22%. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya konsumen di Jakarta saja yang rutin berbelanja online, konsumen di luar Jakarta pun tidak ingin ketinggalan mengikuti perkembangan zaman dengan menunjukkan kontribusi mereka pada pasar e-commerce di Indonesia.
Data dari lembaga riset ICD memprediksi bahwa pasar e-commerce di Indonesia akan tumbuh 42% dari tahun 2012-2015. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan negara lain seperti Malaysia (14%), Thailand (22%), dan Filipina (28%) Tentulah nilai sebesar ini sangat menggoda bagi sebagian investor, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa VC (Venture Capital) besar seperti Rocket Internet, CyberAgent, East Ventures, dan IdeoSource bahkan sudah menanamkan modal ke perusahaan e-commerce yang berbasis di Indonesia. Sebut saja beberapa diantaranya adalah raksasa Lazada dan Zalora, Berrybenka, Tokopedia, Bilna, Saqina, VIP Plaza, Ralali dan masih banyak lagi. Mereka adalah sebagian contoh dari perusahaan e-commerce yang sukses dan berhasil dalam memanfaatkan peluang pasar e-commerce di Indonesia yang sedang naik daun.
D. Perilaku konsumen di Indonesia terhadap belanja online
Berdasarkan data dari Bolton Consulting Group (BCG), pada tahun 2013 golongan kelas menengah di Indonesia sudah mencapai angka 74 juta orang dan diprediksi pada tahun 2020, angka ini naik menjadi 141 juta orang atau sekitar 54% dari total penduduk di Indonesia. Melihat dari data ini, sudah jelas dan bisa dipastikan bahwa potensi pasar e-commerce di Indonesia sangatlah besar. Dengan meningkatnya golongan kelas menengah, orang-orang tidak akan segan untuk mengkonsumsi uang mereka untuk membeli berbagai macam barang yang mereka inginkan. Tapi walaupun memiliki potensi yang besar, tetap ada beberapa masalah yang menjadi penghambat pertumbuhan konsumen yang pernah belanja online.
Dalam artikel di WSJ menyatakan bahwa penyebab pertama kenapa orang Indonesia sampai saat ini masih ada yang belum pernah belanja online adalah rendahnya penetrasi kartu debit dan kredit. Berdasarkan data dari Euromonitor International di tahun 2013, ada 92 juta atau lebih dari 40% akun bank yang terhubung ke kartu kredit dan debit dari total penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta. Jika dibandingkan dengan penetrasi mobile phone, angka ini masih rendah karena sekitar 85% orang Indonesia memiliki mobile phone yang mana setiap bulannya mereka menghabiskan 661 halaman untuk browsing.
Penyebab kedua kenapa orang Indonesia belum pernah belanja online adalah ketidakpercayaan. Data riset dari Nielsen menyatakan bahwa 60% orang Indonesia masih takut untuk memberikan informasi kartu kredit mereka di internet untuk belanja online, lebih besar dari negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina. Walaupun jumlahnya masih rendah dibanding negara dengan total penduduk besar lainnya, jumlah pengguna kartu kredit di Indonesia sudah mulai bertumbuh, pada tahun ini diharapkan pengguna kartu kredit diIndonesia akan mencapai angka 16.5 juta. Berbeda dengan kartu kredit, jumlah kartu debit di Indonesia jauh lebih unggul yaitu hampir mencapai 80 juta pada tahun 2013 kemarin.
Ini adalah permasalahan yang harus dipecahkan perusahaan e-commerce dari sisi infrastruktur dan juga sistem pembayarannya. Perusahaan e-commerce harus bisa meyakinkan calon customer mereka agar mereka mau berbelanja secara online khususnya untuk target pasar anak muda yang pada umumnya sangat mengetahui perkembangan teknologi. Jika suatu perusahaan e-commerce bisa memberikan rasa kenyamanan dalam berbelanja online dan menyediakan sistem pembayaran yang bisa diterima banyak orang, diharapkan akan semakin banyak orang Indonesia yang tidak akan ragu lagi untuk berbelanja, baik menggunakan kartu kredit ataupun debit mereka.
Seperti yang anda ketahui bahwa Indonesia memiliki berbagai macam bank. Banyaknya bank ini termasuk hal yang mempersulit perusahaan e-commerce untuk menerima sistem pembayaran dari berbagai bank ini. Untuk mengatasi hal ini, beberapa perusahaan e-commerce di Indonesia seperti Tiket.com dan Traveloka.com menawarkan sistem pembayaran dari 14 channel pembayaran dari berbagai macam bank. Dengan begini, tidak ada lagi alasan bagi konsumen untuk tidak berbelanja online karena masalah pembayaran sudah dipecahkan.
E. Potensi pasar e-commerce di Indonesia
Menurut Matthew Driver, presiden MasterCard untuk wilayah Asia Tenggara, Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan pasar e-commerce yang terbesar di Asia-Pacific. Di bawah ini adalah jumlah estimasi penjualan e-commerce untuk wilayan Asia-Pacific.
Sedangkan gambar di bawah ini menunjukkan estimasi pada penjualan e-commerce B2C di beberapa negara Asia. Walaupun jumlah penjualan di Indonesia masih rendah dibanding negara lainnya, namun melihat perkembangan Indonesia yang cukup pesat, tidak menutup kemungkinan negara tercinta kita ini akan menyaingi negara Asia lain yang sudah dulu menghasilkan penjualan e-commerce di atas Indonesia.
F. Migrasi Pasar Konvensional ke Pasar Digital
Salah satu produk yang dihasilkan internet adalah terbentuknya sebuah market elektronik atau market digital (sering diistilahkan sebagai e-market). Jika di dunia nyata seorang pembeli dan penjual bertemu di pasar fisik (konvensional), maka di dalam dunia maya mereka bertemu di internet. Kedua jenis pasar ini berkembang secara berdampingan. Terkadang keberadaan e-market merupakan saingan dari pasar konvensional, namun di lain kesempatan keduanya saling melengkapi (co-exist). Ada sebuah riset yang menarik dari Iowa State University dan University of Illinois at Urbana-Champaign yang membandingkan karakateristik dari kedua pasar tersebut ditinjau dari sudut biaya yang harus dialokasikan baik oleh penawar produk atau jasa (penjual) maupun oleh pelanggan (pembeli). Perbandingan dari Perspektif Pembeli Dipandang dari sudut pelanggan, kedua pasar tersebut dapat diperbandingkan berdasarkan 6 (enam) jenis faktor biaya, yaitu:
1. Product Price (PB)
2. Search Costs (SCB)
3. Risk Costs (RCB)
4. Distribution Costs (DCB)
5. Sales Tax (TB)
6. Market Costs (MTB)
Product Price adalah total jumlah biaya yang harus dibayar perusahaan untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan dimana di dalamnya telah termasuk biaya produksi, biaya koordinasi (manajemen), dan margin keuntungan (profit margin). Di pasar konvensional biaya ini biasanya jauh lebih murah dibandingkan dengan di pasar digital karena besarnya biaya koordinasi (manajemen) yang diperlukan untuk membayar tempat (showroom), menyewa sumber daya manusia (salesman), dan lain-lain. Sementara di pasar digital, harga produk kerap dapat ditekan serendah-rendahnya karena hampir semua produk atau jasa dijual sebagaimana layaknya sebuah komoditas. Lihatlah bagaimana banyak perusahaan dotcom menjual barang-barang fisik dengan cara lelang (auctioning) maupun lelang terbalik (reverse auctioning). Disamping itu pula, fenomena price discrimination dan cost transparency turut mewarnai strategi perusahaan di dunia maya dalam menentukan harga produknya yang jelas akan jauh berada di bawah harga pada prasal konvensional. Search Cost adalah biaya yang diperlukan oleh pelanggan atau calon pembeli ketika harus meluangkan waktu, tenaga, dan biaya dalam mencari produk atau jasa yang diinginkan. Lihatlah bagaimana di pasar konvensional seorang calon pembeli harus berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari produk yang diinginkan dengan kualitas dan harga yang sesuai dengan keinginan. Selain tenaga dan waktu, yang bersangkutan pasti harus mengalokasikan uangnya untuk keperluan transportasi. Di dalam pasar digital, biaya tersebut dapat ditekan dengan sangat rendah karena adanya mesin pencari (searching engine) semacam www.google.com, www.altavista.com,www.yahoo.com, dan www.excite.com. Jika di dunia nyata seseorang harus meluangkan waktu seharian dalam mencari produk yang diinginkan ke beberapa tempat, di dunia maya yang bersangkutan cukup melakukannya di satu tempat melalui peralatan komputer PC yang terhubung dengan internet. Risk Cost adalah faktor biaya yang harus diperhitungkan oleh calon pembeli sehubungan dengan proses atau akvitas pembelian di pasar konvensional maupun pasar digital. Ada tiga jenis biaya resiko yang harus diperhatikan, yaitu: • Economic Risk, berkaitan dengan kemungkinan hilangnya uang dalam proses pembelian produk; • Performance Risk, berkaitan dengan kemungkinan tidak didapatkannya kualitas produk seperti yang diharapkan; dan • Personal Risk, berkaitan dengan kemungkinan adanya kerugian lain yang dapat menimpa individu sehubugan dengan metode pembelian yang dipilih.
Pada pasar konvensional, jenis biaya di atas jelas lebih murah dibandingkan dengan di pasar digital. Hal ini disebabkan karena calon pembeli berhadapan langsung dengan penjual secara fisik, dan yang bersangkutan dapat meraba dan/atau menyentuh langsung produk yang diinginkan, sehingga resiko terjadinya hal-hal yang merugikan dapat ditekan sekecil-kecilnya. Sebaliknya di pasar digital, ketiga jenis resiko yang ada sangat tinggi karena si pembeli tidak dapat mengontrol secara langsung aktivitas jual-beli yang terjadi. Dari segi Economic Risk, sering kali dijumpai produk yang telah dipesan dan dibayar tidak sampai ke tujuan; dari segi Performance Risk, tidak jarang produk yang dikirim ke tempat tujuan sudah dalam keadaan rusak; dan dari segi Personal Risk, sudah merupakan rahasia umum bahwa memberikan nomor kartu kredit di internet merupakan aktivitas yang sangat beresiko karena kemungkinan dapat dicuri oleh mereka yang tidak berhak. Distribution Cost adalah biaya pengiriman produk yang harus ditanggung oleh calon pembeli. Secara jelas dapat dimengerti mengapa di pasar digital biaya ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di pasar konvensional. Pada pasar konvensional, biaya ini ditanggung oleh penjual dan perusahaan dapat menekan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena sekali angkt, yang bersangkutan hanya membayar satu kali biaya distribusi (economy of scale). Sementara jika memesan dan membeli produk dari internet, biaya distribusi akan dibebankan kepada pembeli dimana besarnya sangat bervariasi tergantung dari kecepatan dan besar maupun beratnya barang. Sales Tax adalah besarnya pajak yang harus dibayar oleh pembeli ketika yang bersangkutan membeli produk atau jasa tertentu. Di dalam dunia nyata, besarnya pajak sangat ditentukan oleh lokasi geografis (negara dan bagianbagiannya) dan regulasi yang berlaku. Biasanya besarnya pajak penjualan berkisar antara 5%-15% dari harga produk. Hingga saat ini, belanja di internet masih belum dikenakan pajak karena masih sulit menentukan peraturan geografis yang berlaku di dunia maya (pajak dikenakan berdasarkan lokasi pembeli atau penjual?). Market Cost adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh pembeli untuk dapat berpartisipasi (masuk) ke dalam pasar tertentu dengan tujuan melakukan jual beli. Biaya untuk berpartisipasi ke e-market dinilai lebih tinggi karena yang bersangkutan harus memiliki fasilitas untuk dapat melakukan koneksi dengan pasar digital. Seorang yang ingin melakukan pembelian dari rumah harus memiliki PC, membayar listrik, telepon, dan ISP (Internet Service Provider) untuk dapat masuk ke dalam e-market; sementara di pasar konvensional harga berpartisipasi cenderung lebih murah karena siapa saja dapat dengan mudah datang ke pasar yang bersangkutan.
Perbandingan dari Perspektif Penjual Dilihat dari sisi penjual, ada lima jenis biaya yang harus diperhitungkan, masing-masing adalah: 1. Marketing and Advertising Costs (ACS) 2. Overhead Costs (OCS) 3. Inventory Costs (ICS) 4. Production Costs (PCS) 5. Distribution Tax (DCS) Dari sisi ini, pasar digital dapat dikategorikan menjadi dua jenis, tergantung dari jenis produk yang ditawarkan. Jika yang dijual adalah produk fisik, maka pasar yang bersangkutan diistilahkan sebagai Non Digital Product EMarket, sementara jika produk yang dijual telah dapat didigitalisasikan (seperti dokumen, teks, gambar, audio, dan video) maka termasuk kategori Digital Product E-market. Marketing Costs dan Advertising Costs di pasar konvensional sangat tinggi biayanya, karena media yang dipakai semacam majalah, koran, radio, maupun televisi mengenakan tarif yang sangat tinggi untuk iklan. Sementara di emarket, biaya pemasaran dapat ditekan karena selain biaya pemasangan iklan pada website relatif rendah, beragam cara lain untuk memasarkan produk dapat dipergunakan, seperti melalui email, chatting, website link, newsgroup, dan lain-lain. Overhead Costs adalah biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dalam mengelola aktivitas bisnis sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan penjualan produk-produk terkait. Termasuk di dalam biaya ini adalah biaya sewa kantor, biaya telepon, biaya listrik, biaya kertas, dan lain sebagainya. Pada pasar konvensional biaya ini sangat tinggi karena hampir keseluruhan proses memerlukan aset-aset fisik. Sementara itu di pasar digital, biaya overhead jauh lebih kecil karena perusahaan tidak harus memelihara aset fisik yang besar (cukup dengan memiliki sebuah komputer untuk mengelola situs dan bisnis jual-beli).
Inventory Cost adalah biaya total yang harus dialokasikan karena tidak menentunya permintaan (demand) terhadap produk yang ada, sehingga perusahaan harus memiliki stok barang yang cukup. Termasuk dalam biaya ini adalah biaya pengadaan dan biaya penyimpanan barang. Untuk produk yang berbentuk fisik, biaya ini sama besarnya baik di pasar konvensional maupun di pasar digital. Sementara untuk produk-produk digital, biaya ini sangat rendah karena hanya dibutuhkan media storage (hard disk) untuk menyimpannya. 4 Production Costs adalah biaya total yang dibutuhkan untuk menciptakan produk dari bahan mentah atau bahan baku (setengah jadi) yang dimiliki perusahaan. Jelas jika produk tersebut berbentuk fisik, biaya produksi ini akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk digital (karena pada produk digital proses yang terjadi tidak lebih dari pada usaha untuk merestrukturisasi bit-bit digital). Distribution Costs adalah biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mendistribusikan produk-produknya sampai ke tangan pelanggan (baik secara langsung, atau melalui wholesaler maupun retailer). Biaya terbesar akan terjadi pada mekanisme perdagangan produk fisik melalui e-market karena perusahaan harus mengirimkan produknya ke pelanggan sesuai dengan kuantitas frekuensi dan volume yang ada (semakin sedikit dan beragam permintaan akan semakin mempertinggi biaya distribusi). Sementara untuk pasar konvensional biaya ini bisa lebih murah karena prinsip economy of scale. Biaya distribusi terendah berlaku untuk jenis produk digital karena yang dibutuhkan hanyalah biaya pengiriman file atau proses data uploading saja.
*dikutip dari bebrapa web dan seminar nasional,.........#semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar